LPMD dan KPMD: Masihkah Menjadi Pilar Pemberdayaan atau Sekadar Ornamen Kelembagaan Desa?


 

LPMD dan KPMD: Masihkah Menjadi Pilar Pemberdayaan atau Sekadar Ornamen Kelembagaan Desa?

Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) sejak awal kelahirannya dirancang sebagai motor penggerak partisipasi warga dalam pembangunan desa. Bersama Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), lembaga ini seharusnya menjadi jembatan antara aspirasi masyarakat dan kebijakan pemerintah desa. Namun, dalam perkembangan beberapa tahun terakhir, terutama pasca penerapan Undang-Undang Desa Nomor 4 Tahun 2014, peran kedua entitas ini kian memudar, bahkan nyaris tak nampak dalam dinamika pembangunan desa.

Jejak Sejarah dan Pergeseran Peran

Pada rentang waktu 2005–2015, desa-desa di Indonesia mengenal KPMD sebagai ujung tombak pemberdayaan masyarakat. KPMD hadir sebagai kader yang dekat dengan warga, memahami persoalan riil di tingkat akar rumput, dan mampu menggerakkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan. Di masa ini pula, peran LPMD mulai terasa “tenggelam”, seolah tersisih oleh hadirnya KPMD yang lebih operasional dan langsung bersentuhan dengan masyarakat.

Namun, alih-alih saling menguatkan, dinamika tersebut justru berujung pada melemahnya kedua peran sekaligus. Ketika Undang-Undang Desa diberlakukan dan Dana Desa mulai mengalir deras, orientasi pembangunan desa mengalami pergeseran signifikan. Fokus pembangunan lebih banyak diarahkan pada proyek-proyek fisik: jalan desa, drainase, gedung, dan infrastruktur lainnya. Dalam konteks ini, yang kemudian tampil dominan adalah Tim Pelaksana Kegiatan (TPK), sebagai struktur teknis pelaksana proyek.

Pemberdayaan yang Tergeser oleh Betonisasi

Masuknya Dana Desa seharusnya menjadi peluang emas bagi penguatan pemberdayaan masyarakat. Namun dalam praktiknya, dana yang besar justru mendorong logika pembangunan yang pragmatis dan instan. Keberhasilan pembangunan sering diukur dari apa yang tampak secara kasat mata, bukan dari peningkatan kapasitas masyarakat, kemandirian ekonomi, atau kekuatan sosial warga desa.

Di sinilah LPMD dan KPMD kehilangan ruang geraknya. Pemberdayaan yang membutuhkan proses panjang, dialog, pendampingan, dan pengorganisasian masyarakat dianggap tidak seatraktif pembangunan fisik. Akibatnya, LPMD dan KPMD kerap hanya dicantumkan dalam struktur kelembagaan desa tanpa peran substantif. Mereka ada, tetapi tidak benar-benar dihadirkan dalam proses pembangunan.

Relevansi yang Dipertanyakan: Sebuah Satire Realitas Desa

Masih relevankah keberadaan LPMD dan KPMD? Pertanyaan ini terdengar seperti satire, namun sesungguhnya mencerminkan realitas yang pahit. Di desa-desa yang masih menjadikan pemberdayaan masyarakat sebagai ruh pembangunan, LPMD dan KPMD tetap menemukan relevansinya. Mereka masih memiliki pekerjaan: memfasilitasi musyawarah, menggali potensi lokal, memperkuat kelompok masyarakat, hingga mendorong lahirnya inisiatif warga.

Sebaliknya, di desa-desa yang orientasi pembangunannya semata-mata pada sarana fisik, keberadaan LPMD dan KPMD tak lebih dari pelengkap administrasi. Mereka dibutuhkan sekadar untuk memenuhi regulasi, bukan untuk menjalankan fungsi strategis. Bahkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) pun kerap tampak tak berdaya ketika kekuasaan pemerintah desa begitu dominan. Mekanisme checks and balances melemah, sementara lembaga-lembaga di luar pemerintah desa hanya menjadi struktur formal tanpa daya tawar.

Dominasi Kekuasaan dan Matinya Partisipasi

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan lebih mendasar: apakah desa masih menjadi ruang demokrasi lokal yang hidup? Ketika seluruh proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan dikendalikan oleh segelintir elite desa, partisipasi masyarakat kehilangan maknanya. Musyawarah desa berubah menjadi formalitas, aspirasi warga tersaring secara sepihak, dan lembaga-lembaga kemasyarakatan kehilangan fungsi kritisnya.

LPMD dan KPMD, yang seharusnya menjadi penyeimbang dan penggerak partisipasi, terjebak dalam situasi serba terbatas. Tanpa dukungan politik anggaran, tanpa kejelasan peran, dan tanpa keberanian untuk bersuara, kedua lembaga ini perlahan mengalami degradasi fungsi.

Mengembalikan Ruh Pemberdayaan

Melemahnya peran LPMD dan KPMD sejatinya bukan soal relevansi lembaga, melainkan soal arah pembangunan desa itu sendiri. Selama pembangunan masih dimaknai semata sebagai pembangunan fisik, selama keberhasilan diukur dari serapan anggaran dan jumlah proyek, maka lembaga pemberdayaan akan terus terpinggirkan.

Menghidupkan kembali LPMD dan KPMD berarti mengembalikan ruh pemberdayaan dalam pembangunan desa. Desa perlu kembali memandang masyarakat bukan sebagai objek pembangunan, melainkan subjek utama. Pemberdayaan bukan pelengkap, tetapi fondasi. Tanpa masyarakat yang berdaya, pembangunan fisik hanya akan menjadi monumen tanpa jiwa.

Penutup

Keberadaan LPMD dan KPMD masih relevan—bahkan sangat penting—namun hanya bagi desa yang sungguh-sungguh ingin membangun manusianya, bukan sekadar infrastrukturnya. Jika desa memilih jalan pembangunan yang partisipatif dan berkeadilan, maka kedua lembaga ini akan menemukan kembali perannya. Namun jika tidak, maka LPMD dan KPMD akan tetap menjadi simbol kelembagaan yang hampa: ada dalam struktur, hilang dalam praktik.

Pertanyaannya bukan lagi apakah LPMD dan KPMD masih relevan, melainkan: masihkah desa ingin memberdayakan masyarakatnya?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال