
Kreativitas Anak Indonesia dan Peran Teknologi dalam Pembelajaran
Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun menarik perhatian banyak orang lewat video yang viral di media sosial. Dalam video tersebut, ia menunjukkan game controller buatannya sendiri—sebuah setir mobil lengkap dengan pedal gas, rem, dan persneling. Seluruhnya dirakit dari bahan-bahan bekas seperti kardus, kayu tipis, dan keyboard tua. Hal ini menunjukkan kecerdasan kreatif dan kemampuan teknis yang luar biasa.
Yang membuat video ini menarik adalah bagaimana ia mempelajari semua hal tersebut. Ia mengaku belajar melalui ChatGPT, Grok, dan YouTube. Dengan bantuan AI dan tutorial daring, ia mampu merancang, memprogram, serta menyambungkan controller hingga berfungsi sempurna. Ini menjadi contoh nyata bagaimana teknologi bisa menjadi alat pembelajaran yang efektif jika digunakan dengan tepat.
Respons netizen terhadap video ini sangat positif. Banyak komentar yang menyampaikan apresiasi terhadap cara anak tersebut belajar dan keterlibatan keluarganya. Beberapa komentar menyebutkan bahwa AI bisa menjadi alat yang hebat jika digunakan oleh orang yang tepat. Tante dari anak tersebut juga menyampaikan harapan bahwa anak itu bisa mengakses pendidikan sesuai minatnya, meskipun usianya belum memenuhi syarat. Video ini tidak hanya menarik karena keunikan, tetapi juga membuka diskusi mendalam tentang potensi anak Indonesia yang sering kali terabaikan.
Kreativitas seperti ini bukanlah hal baru bagi budaya kita. Anak-anak Indonesia memiliki warisan kecerdasan kreatif yang tumbuh dari permainan tradisional. Sejak kecil, banyak anak membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali, layang-layang dari kertas semen, congklak dari lubang tanah, atau wayang dari kardus bekas. Permainan ini bukan hanya untuk hiburan, tetapi juga menjadi sarana belajar yang alami.
Permainan tradisional mengajarkan logika ruang, relasi sebab-akibat, strategi, prediksi gerak, problem solving, dan kesabaran. Semua konsep ini dibungkus dalam budaya yang kaya akan makna. Kini, dengan bantuan teknologi, permainan tradisional bisa menjadi jembatan menuju computational thinking.
Peran AI dalam Pendidikan Indonesia
Anak-anak generasi saat ini melakukan hal yang sama seperti generasi sebelumnya, tetapi dengan bantuan AI. Kardus tetap kardus, bambu tetap bambu, tetapi kini semuanya terhubung ke komputer, internet, dan mesin tanya berbasis AI. Permainan tetap permainan, tetapi kini menjadi jembatan menuju pemikiran komputasional. Di titik inilah kearifan lokal dan teknologi bertemu.
Dari perspektif ethno-pedagogic coding, aktivitas budaya dilihat sebagai fondasi berpikir komputasional. Ketika anak membuat mainan dari kardus atau bambu, ia sedang melakukan sequencing, debugging, pattern recognition, dan design thinking—konsep yang kini dikemas dalam materi digital literacy. AI tidak merusak tradisi ini; justru, bila diarahkan dengan benar, AI dapat memperkuat tradisi berpikir kritis dan kreatif tersebut.
Anak dalam video tersebut sesungguhnya mempraktikkan maker culture, deep learning, dan human-AI collaboration—konsep-konsep yang sering dibahas dalam seminar pendidikan. Bedanya, ia melakukannya di dapur rumahnya, dipandu oleh keluarga yang penuh cinta. Bukankah ini esensi pendidikan humanistik?
Masa Depan Pendidikan yang Lebih Baik
Deep learning dalam konteks anak Indonesia adalah proses belajar yang menyentuh pengalaman manusia secara mendalam. Permainan tradisional seperti engklek, congklak, atau merakit mainan mengajarkan koordinasi motorik, strategi spasial, prediksi langkah, manajemen sumber daya, hingga rekayasa sederhana. Ketika permainan itu dipadukan dengan teknologi, lahirlah pembelajaran era baru—tetap humanis, tetapi kini berkelindan dengan AI. Perpaduan ini membuka ruang bagi pendidikan yang lebih bermakna tanpa kehilangan akar budaya.
Fenomena bocah viral ini juga menjadi alarm halus: berapa banyak anak Indonesia dengan potensi serupa yang tidak pernah terlihat dunia? Bukan karena mereka kurang cerdas, tetapi karena akses pendidikan dibatasi oleh usia, biaya, atau lokasi. Banyak anak harus menunggu "cukup umur" sebelum belajar hal yang sebenarnya sudah bisa mereka lakukan. Mereka bukan tidak mampu—mereka hanya tidak diberi kesempatan.
Hari Anak Sedunia mengingatkan kita bahwa pendidikan seharusnya mengikuti minat, bukan usia. Ia harus berpusat pada anak, bukan semata kurikulum. Ia harus menghargai budaya, bukan menirunya dari luar. Ia harus membesarkan jiwa, bukan hanya kecerdasan.
Jika seorang anak bisa mengubah kardus menjadi setir mobil berfungsi dengan bantuan AI, ia sebenarnya sedang memetakan masa depan Indonesia. Konsep ethno-pedagogic coding mengajarkan bahwa teknologi dan tradisi bukanlah dua kutub yang bertentangan; keduanya adalah harmoni bila dijembatani cinta keluarga, akses digital yang merata, dan ruang aman untuk bereksperimen.
Pada Hari Anak Sedunia 2025, kita diingatkan bahwa anak Indonesia tidak kekurangan masa depan—mereka hanya kekurangan kesempatan. Potensi mereka bukanlah janji masa depan, melainkan kenyataan hari ini. Ketika bangsa ini menyadari bahwa inovator masa depan mungkin sedang bermain kardus di ruang tamu rumahnya, maka pendidikan nasional akan mulai bergerak selaras dengan kodrat kreativitas anak-anaknya sendiri.