Pada masa ketika Desa Sumbersari masih berupa perkampungan kecil yang terpencar, hanya dihuni sekitar lima puluh rumah, hiduplah seorang sesepuh yang sangat dihormati bernama Ki Ageng Prawirosari bersama istrinya, Nyai Ageng Prawirosari. Pasangan ini dikenal bijaksana dan disegani karena kesaktiannya, namun juga karena kebijaksanaan mereka dalam memimpin masyarakat.
Pada masa itu, kehidupan warga sangat bergantung pada hasil bumi. Padi, jagung, umbi-umbian, serta dedaunan menjadi sumber pangan dan komoditas mereka. Untuk mendapatkan barang-barang yang tidak dapat diproduksi sendiri—seperti garam, minyak, kain, dan perlengkapan rumah—warga melakukan barter ke sebuah wilayah yang waktu itu bernama Turiyan, yang sekarang dikenal sebagai Turen. Untuk mencapai Turiyan, mereka harus menempuh perjalanan melewati perkampungan kecil bernama Jambu Malang, yang di kemudian hari berkembang menjadi wilayah Desa Jambangan.
Wabah Datang Tanpa Diduga
Pada suatu musim penghujan, ketika kelembapan udara meningkat dan sungai-sungai meluap, datanglah sebuah musibah yang tidak pernah dibayangkan oleh warga Sumbersari. Beberapa penduduk tiba-tiba jatuh sakit. Demam tinggi, batuk keras, kulit memerah, dan tubuh melemah. Dalam waktu singkat, jumlah warga yang sakit bertambah. Wabah itu menyebar sangat cepat, terutama karena sebagian warga sering keluar masuk desa ketika berdagang ke Turiyan.
Ki Ageng Prawirosari, dengan ilmu dan pengalaman hidupnya, menyadari bahwa penyakit ini dapat merenggut nyawa jika tidak segera ditangani. Namun pada masa itu, pengetahuan medis sangat terbatas. Yang bisa dilakukan hanyalah mengisolasi orang sakit agar tidak menular kepada warga lainnya.
Bukit Sunyi di Barat Desa
Di sisi barat Desa Sumbersari terdapat sebuah bukit kecil. Tidak terlalu tinggi—bahkan tak sampai seratus meter dari kaki bukit—namun cukup terpencil sehingga dianggap aman untuk memisahkan warga yang sakit dengan warga yang sehat. Ki Ageng memerintahkan agar semua yang menunjukkan gejala segera dibawa ke bukit itu. Di sana, beberapa pondok didirikan sebagai tempat perawatan sederhana, dan sebuah dapur umum didirikan untuk menyiapkan makanan.
Para warga yang sehat tetap diminta bekerja di ladang dan sawah. Hasil panen kemudian diantarkan ke dapur umum agar bisa dimasak dan diantar kepada para penderita yang tengah berjuang melawan wabah.
Namun, Ki Ageng mengkhawatirkan satu hal: bagaimana caranya memastikan warga yang sakit mengetahui kapan waktu makan tiba? Mengingat bukit itu cukup luas dan beberapa penderita tinggal di lokasi yang berbeda.
Penjaga dengan Sebuah Jidor
Untuk mengatasi masalah itu, Ki Ageng menunjuk seorang pemuda kuat dan cekatan sebagai penjaga bukit. Ia diberi sebuah jidor—bedug kecil dari kayu jati tua dengan kulit sapi yang tebal—agar ditabuh setiap kali makanan siap dibagikan.
“Jika waktu makan tiba, tabuh jidor ini tiga kali. Biarkan suaranya menggema agar saudara-saudaramu tahu bahwa rezeki dari sawah sedang menunggu di dapur umum,” pesan Ki Ageng.
Pemuda itu mengangguk hormat. Sejak hari itu, suara “dung… dung… dung…” dari pukulan jidor menggema setiap pagi, siang, dan sore. Suaranya menggetarkan udara, memantul-mantul di lereng bukit, seolah menjadi penanda harapan di tengah suasana mencekam.
Warga yang sakit akan keluar perlahan dari pondok mereka, berjalan tertatih namun penuh syukur menuju dapur umum. Di sana, mereka menerima makanan hangat, penguat untuk tetap bertahan hidup.
Awal Tradisi Bari’an
Peristiwa itu berlangsung beberapa pekan. Berkat ketekunan warga, kepemimpinan Ki Ageng, serta kedisiplinan dalam menjaga jarak, wabah perlahan mereda. Satu per satu warga pulih dan dapat kembali ke rumah mereka. Desa Sumbersari diselamatkan dari bencana besar yang nyaris merenggut seluruh penduduknya.
Sebagai ungkapan syukur, Ki Ageng Prawirosari menggelar sebuah selametan yang diberi nama Bari’an. Nama ini berasal dari kata bara, boro, atau menyendiri, sebagai simbol masa-masa ketika warga harus memisahkan diri demi keselamatan bersama. Tradisi ini kemudian berkembang menjadi tasyakuran rutin yang dilakukan warga hingga sekarang.
Dalam setiap pelaksanaan Bari’an, warga selalu mengingat masa kelam itu—bagaimana gotong royong, kedisiplinan, dan doa dapat menyelamatkan sebuah desa kecil dari kepunahan.
Dari Suara Jidor Menjadi Gunung Jidor
Seiring berjalannya waktu, bukit kecil tempat warga sakit diisolasi pun terus dikenang oleh generasi setelahnya. Penduduk sering merujuk pada bukit itu dengan sebutan “bukit tempat jidor ditabuh.” Namun karena dalam percakapan harian mereka lebih suka menyederhanakan kata, sebutan itu kemudian berubah menjadi Gunung Jidor.
Meski hanya berupa bukit kecil, nama Gunung Jidor dipenuhi nilai sejarah dan makna perjuangan. Di sanalah warga Sumbersari pernah mempertaruhkan harapan, kesabaran, dan kebersamaan demi bertahan hidup.
Hingga kini, bila seseorang berdiri di puncak Gunung Jidor dan merasakan tiupan angin yang lembut, seolah-olah suara jidor tempo dulu masih bergema—mengingatkan kita pada masa ketika bunyi sederhana itu menjadi penanda kehidupan.
Demikianlah legenda asal-usul Gunung Jidor, sebuah kisah tentang wabah, perjuangan, dan persatuan yang diwariskan dari nenek moyang Dusun Sumbersari, Desa Jambangan. Sampai hari ini masih banyak kontent kreator yang mengunjungi Gunung Jidor untuk membuat kontent yang berbau mistis.
