Legenda Asal Usul Nama Gunung Gupit


 Legenda Asal Usul Gunung Gupit

Dari Batas Wilayah, Pengkhianatan, hingga Cinta yang Menyatukan Dua Desa


Pada masa ketika Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda melalui sebuah tipu daya yang memalukan, banyak para pejuang dan pengikutnya memilih hijrah ke wilayah timur Pulau Jawa. Mereka mencari tempat baru untuk membangun kehidupan serta meneruskan semangat perjuangan sang pangeran.

Kedatangan Bambang Irawan ke Pamotan

Salah satu pengikut setia Pangeran Diponegoro bernama Bambang Irawan bersama sekelompok kecil prajuritnya berjalan jauh hingga sampai di wilayah yang kini bernama desa Pamotan. Di sana, mereka menemukan hutan lebat yang sunyi, tanpa pemukiman, tetapi memiliki tanah subur dan sumber mata air yang cukup.

Dengan tekad membara, Bambang Irawan mulai babat alas, membuka hutan, membangun jalan pemukiman, serta mengajarkan masyarakat setempat cara bertani dengan lebih baik. Atas jasanya itu, penduduk memberi nama wilayah tersebut Ngurawan, sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan Bambang Irawan.

Ia tinggal di sana bersama keluarganya, termasuk putrinya yang terkenal cantik dan lemah lembut, Dewi Taman Ayu.

Ki Ageng dan Nyai Ageng Prawirosari di Sumbersari

Di sisi lain, tidak jauh dari Pamotan, di sebuah wilayah yang kala itu bernama Sumbersari, hidup pasangan tokoh yang dihormati: Ki Ageng Prawirosari dan istrinya, Nyai Ageng Prawirosari. Mereka memilih menetap di sebelah utara sebuah tempat angker yang kini dikenal sebagai Umbulan, sebuah mata air yang jernih namun dahulu dikelilingi cerita mistis.

Ki Ageng dan pengikutnya juga membuka lahan, membangun perkampungan, dan mengembangkan kehidupan masyarakat di Sumbersari, yang kelak berubah menjadi desa Jambangan.

Pertemuan Dua Pemimpin

Seiring berjalannya waktu, wilayah pemukiman semakin berkembang, dan batas antara dua perkampungan mulai diperlukan agar kelak keturunan mereka tidak berselisih. Maka, Ki Ageng Prawirosari dan Bambang Irawan sepakat bertemu di dekat mata air Umbulan.

Di bawah rimbun pepohonan dan suara gemericik air, kedua tokoh bijaksana itu berbincang panjang. Setelah pembahasan yang mendalam, mereka menentukan bahwa sebuah bukit kecil di antara dua sungai akan menjadi batas wilayah. Karena bukit itu terletak di tengah lembah dan diapit dua aliran sungai, mereka menyebutnya Gupitan.

Lambat laun, penduduk lebih sering menyebutnya Gunung Gupit, dari kata kecepit yang berarti terjepit. Sejak saat itu, bukit kecil itu menjadi penanda persaudaraan dan kesepakatan antara dua tokoh besar.

Tumbuhnya Cinta di Antara Dua Keluarga

Namun tak ada yang menyangka bahwa pertemuan para pemimpin itu juga mempertemukan dua hati.

Pada saat Ki Ageng dan Bambang Irawan berunding, putra Ki Ageng, Raden Satrio Bekti, diam-diam ikut menemani ayahnya. Di sisi lain, Dewi Taman Ayu ikut mengantarkan hidangan untuk ayahnya, Bambang Irawan.

Ketika mata mereka bertemu, waktu seolah berhenti. Raden Satrio Bekti terpesona oleh kelembutan senyum Dewi Taman Ayu, sementara sang dewi kagum pada ketegasan dan budi pekerti Raden Satrio.

Pertemuan itu menjadi awal kisah kasih yang bersemi di antara dua keluarga besar.

Cinta yang Sempat Ditentang

Awalnya, hubungan mereka berjalan diam-diam. Namun ketika kabar kedekatan itu tersebar, beberapa pengikut dari dua pihak sempat keberatan. Mereka khawatir cinta itu justru akan menimbulkan kecemburuan atau perselisihan karena status dua pemimpin yang sama-sama dihormati.

Namun, Ki Ageng Prawirosari dan Bambang Irawan melihat hubungan kedua anak mereka dengan hati yang terbuka. Bagi mereka, cinta adalah penyatu, bukan pemecah.

Setelah diyakinkan oleh keteguhan hati Satrio dan Taman Ayu, kedua pemimpin akhirnya memberikan restu.

Perkawinan yang Memperkuat Persaudaraan

Pernikahan antara Raden Satrio Bekti dan Dewi Taman Ayu berlangsung meriah namun tetap sederhana dalam adat tradisi. Penduduk dari Sumbersari dan Ngurawan berkumpul, menari, dan bersyukur atas bersatunya dua keturunan tokoh pembuka wilayah.

Pernikahan itu menjadi simbol persatuan dua desa, jauh sebelum adanya batas administrasi.

Lahirnya Kampung Pusung

Setelah menikah, pasangan itu memilih untuk tidak tinggal di kedua perkampungan asal mereka. Mereka ingin membangun wilayah baru sebagai simbol lembaran baru. Dengan ditemani beberapa pengikut setia dari kedua belah pihak, mereka membuka lahan di barat daya Gunung Gupit.

Wilayah itu kelak berkembang menjadi sebuah pemukiman yang nyaman, subur, dan damai. Orang-orang menyebutnya Pusung, tempat yang hingga kini masih menjadi bagian penting dalam sejarah Jambangan dan Pamotan.

Warisan Gunung Gupit

Gunung Gupit berdiri hingga hari ini sebagai saksi bisu:

  • perjuangan pengikut Pangeran Diponegoro,

  • babat alas dua tokoh besar,

  • persahabatan dua desa,

  • dan cinta antara Satrio Bekti serta Dewi Taman Ayu yang menyatukan wilayah.

Hingga kini, masyarakat sekitar meyakini bahwa selama Gunung Gupit tetap berdiri, kisah persaudaraan dan cinta itu akan selalu mengalir, sama seperti dua sungai yang mengapitnya sejak dahulu kala.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال